Minggu, 15 Agustus 2010
Grand Chase
Grand Chase: Sieghart
Filed under: Online Game — Tags: Grand Chase — hisuikohaku @ 11:43 am
Yang nunggu review DRRR!! 17 sabar yak, empunya blog lagi asik maen Grand Chase jadinya malah bikin entry begini u_u *digampar*
Open Beta Grand Chase, tanggal 8 kemarin, salah satu character baru yang keluar adalah Sieghart. Kenapa dia duluan bukannya Lass? Ya mau gimana lagi *plak* Okay, jadi ada event khusus yang berlangsung dari 8 Mei sampai 8 Juni nanti, player GC harus dapetin char ini… okay BTT.
Q: Sieg itu sopo sih mas?
A:
Versi panjangnya:
Sieghart, character ke 9 dari Grand Chase adalah Gladiator dari Kanavan berratus-tatus tahun yang lalu. Dalam satu waktu dia menghabisi seratus Goblin sendirian, sehingga namanya dicatat dalam buku sejarah dan ceritanya diceritakan turun-temurun. Suatu ketika dia melakukan perjalanan ke suatu situs bokep bersejarah dan menghilang begitu saja.
Beberapa tahun kemudian *eah*, di Outer Wall of Serdin, seorang Gladiator tiba-tiba muncul dan mengaku sebagai Sieg…
Versi Pendeknya:
Hidden chara di GC yang harus di unlock dengan mission, objectivenya sebagai berikut:
* Kumpulkan 3 Trident dari Partusay (dungeon Partusay’s Sea) dengan Difficulty
* Kumpulkan 5 Kamiki’s Magic Crystal (dungeon Kamiki’s Castle)
Q: Move List dong!
A:
* Dash, → →
* Dash Attack, → → Z
* 5 Hit Combo, Z Z Z Z Z
* 5 Hit + 2 Aerial Combo, Z Z Z Z Z ↑ Z Z
* 4 Hit + 2 Aerial Combo, Z Z Z Z ↑ Z Z
* 6 Hit + 2 Aerial Combo, → → Z Z Z Z Z Z ↑ Z Z
* Raeg Tiem Rage Mode, X
* MP Charge Lv. 1, Iron Crusher, tahan Z sampai melewati 1 Bar MP. (kekuatan bertambah kalau digunakan di Rage Mode)
* MP Charge Lv. 2, Flame Sword, tahan Z sampai melewati 2 Bar MP. (kekuatan dan hit bertambah kalau digunakan di Rage Mode)
* MP Charge Lv. 3, Grinding Punisher, tahan Z sampai MP Bar penuh. (Jarak serang, kekuatan, dan hit bertambah kalau digunakan di Rage Mode)
Sabtu, 14 Agustus 2010
Nibanna
1. Apa itu Nibbana? Ada pendapat yang menganggap bahwa Nibbana identik dengan kemusnahan dari pribadi (Inggeris: annihilation). Sang Buddha menegaskan bahwa pandangan ini salah.
Apabila seorang telah membebaskan batinnya, para dewa sekalipun tak dapat menjejakinya, walau mereka berpikir: "Ini adalah kesadaran Tathagata." Mengapa? Disebabkan karena Buddha tak terjejaki. Walau Saya berkata demikian, beberapa pertapa dan Brahmin, salah menafsirkan, bertentangan dengan kenyataan, mereka berkata: "Pertapa Gotama adalah berpandangan nihilis, sebab dia mengajarkan pemotongan, penghancuran, hilangnya keberadaan secara menyeluruh," tapi Saya tidak mengatakan demikian. Dari dulu sampai sekarang, Saya hanya mengajarkan tentang Penderitaan dan penghentian Penderitaan. (Majjhima Nikaya I: 140)
2. Banyak kesempatan bagi Sang Buddha untuk dapat menyatakan bahwa mereka yang mencapai Nibbana telah hilang keberadaannya, tapi Beliau tidak pernah mengatakan demikian. Sekali waktu, Upasiva bertanya kepada Sang Buddha:
Mereka yang telah pergi (ke Nibbana),
Apakah mereka musnah keberadaannya,
Atau mereka tetap tak lekang selamanya?
Jelaskan pada saya, Oh, Guru Bijaksana
Sebab Kaulah yang mengetahui sejelasnya.
Lalu, Sang Buddha menjawab:
Tak dapat dinilai mereka yang telah pergi.
Yang oleh seseorang mungkin dikatakan sebagai
Tidak ada lagi.
Ketika semua fenomena telah tiada,
Semua cara untuk menggambarkannya juga tiada.
(Sutta Nipata: 1075-1076)
3. Sekali waktu, seorang pengembara bernama Vacchagota bertanya pada Sang Buddha, tentang keberadaan mereka yang telah mencapai Nibbana, mereka timbul (dengan kata lain, tetap keberadaannya) atau tidak timbul (dengan kata lain, hilang keberadaannya). Sang Buddha menolak untuk memberi jawaban, dan menerangkan pada kita bahwa Beliau menolak, karena Nibbana adalah keadaan yang tak dapat diterangkan dengan kata-kata.
"Tapi, Gotama yang bijaksana, dimana timbulnya para siswa yang batinnya telah terbebaskan itu?"
"Istilah 'Timbul' tidak dapat terpakai"
"Bila demikian, bagaimana kalau dikatakan 'Tidak timbul'"
"Tidak timbul" juga tidak terpakai.
"Bila demikian, apakah mereka 'timbul dan juga tidak timbul'?"
"'Timbul dan juga tidak timbul' juga tidak terpakai."
"Bila demikian mereka 'tidak timbul dan juga tidak tidak timbul'?"
"'Tidak timbul dan juga tidak tidak timbul', juga tidak terpakai".
"Dengan demikian, saya kehilangan jejak dalam hal ini, Gotama yang baik, saya bingung, dan kepuasan yang saya dapati pada pembahasan kita yang lalu, sekarang telah tiada lagi...."
"Kesadaran Tathagata terbebas dari pengungkapan-pengungkapan; dia begitu dalam, tak terukur, tak diketahui dalamnya seperti lautan. 'Timbul' tak terpakai, 'tidak-timbul' tak terpakai, 'Timbul dan juga tidak timbul' tak terpakai, 'tidak timbul dan juga tidak tidak timbul' juga tidak terpakai."
(Majjhima Nikaya I: 140)
4. Walau sulit digambarkan, namun Sang Buddha memberi pada kita gambaran umum tentang keberadaan Nibbana. Dengan menggambarkan batin manusia, Sang Buddha berkata:
Batin adalah putih suci, namun dia ternodai oleh kekotoran batin yang sebelumnya tidak ada. Orang awam tidak menyadarinya, oleh karenanya mereka tidak menjaga batinnya. Batin adalah putih suci, dan dapat dimurnikan dari kekotoran batin yang sebelumnya memang tidak ada. Siswa yang agung mengerti hal itu, makanya mereka menjaga batin mereka. (Anguttara Nikaya I: 10)
5. Batin adalah suci pada awalnya (pabhassaram idam citam), kemudian dinodai kotoran batin yang sebenarnya adalah sesuatu yang asing bagi batin. Bila kotoran batin dibersihkan, maka batin kembali suci lagi. Sang Buddha bersabda:
Dimana tanah, air, api dan udara tak berpijak? Dimanakah yang panjang dan pendek, kecil dan besar, murni dan tak murni, nama dan rupa, akhirnya musnah? Jawabnya adalah: Itu adalah kesadaran dari seorang Yang Agung - tak tertandai, tak terikat, dan bercahaya. Disana tak ada tempat tanah, air, api dan udara itu berpijak. Disana yang panjang dan pendek, kecil dan besar, murni dan tak murni, nama dan rupa akhirnya musnah. Bila kesadaran telah musnah, maka demikian pula semuanya itu' .
(Digha Nikaya I: 223)
6. Walau kita hanya dapat mengerti sepenuhnya keadaan Nibbana setelah kita mengalaminya sendiri, namun kita tetap dapat mengetahui keberadaan keadaan itu. Pertama, kita dapat menyimpulkan keberadaannya. Apabila ada dimensi disertai kelahiran, kematian, kekotoran batin dan kejadian, maka dapat disimpulkan bahwa ada dimensi tanpa itu. Naskah Buddhis kuno menyebutkan:
Dimana ada panas,
Disitu pasti pula ada dingin.
Demikian pula,
Dimana ada tiga api,
Disitu pasti pula ada Nibbana.
Dimana ada kejahatan,
Disitu pasti pula ada kebajikan.
Demikian pula,
Dimana ada kelahiran,
Keadaan "tak-terlahir", dengan demikian, juga ada.
(Jataka Nidanakatha 22-23)
7. Kedua, kita dapat mengetahui adanya keadaan seperti Nibbana, karena Sang Buddha mencapainya, dan Beliau dengan tegas menjelaskan keberadaannya. Beliau bersabda:
Ada sesuatu Yang Tak-Terlahirkan, Tak-Terjadi, Tak-Terbuat, Tak-Tergabung. Bila tidak ada yang Tak-Terlahirkan, Tak-Terjadi, Tak-Terbuat, Tak-Tergabung, maka tidak akan ada jalan untuk bebas dari Terlahir, Terjadi, Terbuat dan Tergabung. Tetapi karena adanya Yang Tak-Terlahirkan, Tak-Terjadi, Tak-Terbuat, Tak-Tergabung, maka ada jalan untuk terbebas dari Terlahir, Terjadi, Terbuat dan Tergabung. (Udana: 80)
8. Sekali lagi Beliau menegaskan keberadaan-Nya, sebagai berikut:
Ada suatu keadaan, dimana tidak ada tanah, air, api dan udara, dimana tidak ada Lingkup Ruang Tak-terbatas, Kesadaran Tak-terbatas, Kehampaan, juga Lingkup bukan-Kesadaran bukan pula Tanpa-kesadaran, tidak di bumi ini, di bumi seberang ataupun keduanya, tidak ada matahari, tidak ada bulan, dimana tidak ada yang datang untuk dilahirkan, tidak ada yang pergi ke kematian, tidak ada kurun waktu, tidak ada yang terjatuh dan timbul. Bukan sesuatu yang terpaku, tidak pula bergerak, dia berasaskan kehampaan. Inilah sebenarnya akhir penderitaan. (Udana: 80)
9. Dapatkah setiap orang mencapai kebahagiaan dan kebebasan Nibbana? Bila dapat, apakah setiap orang pada akhirnya akan mencapainya? Jawaban untuk hal yang pertama adalah jelas, yakni bahwa setiap orang dapat mencapai Nibbana, dan justru Sang Buddha senantiasa mendorong setiap orang untuk menjadikan Nibbana tujuan hidupnya serta agar berupaya sekuatnya untuk mencapainya. Senandung para wanita yang telah mencapai Nibbana, terdengar lantang dan jelas, dalam menjawab pertanyaan ini.
Keadaan Abadi ini telah banyak yang mencapainya,
Dan tetap dapat dicapai saat inipun,
Bagi siapa yang menjalankannya sendiri,
Tapi tidak bagi yang tidak berusaha sekuatnya.
(Therigatha: 513)
10. Apakah setiap orang dapat mencapai Nibbana atau tidak? Jawaban dari pertanyaan ini tak dapat diramalkan, karena setiap orang mempunyai minat dan cita-cita masing-masing. Sang Buddha telah mengajarkan Dhamma dan dengan segala macam cara, menganjurkan orang untuk melaksanakannya; namun tentu saja pelaksananya tergantung pada orang itu sendiri-sendiri.
"Gotama Yang Baik, setelah diajar dan diarahkan oleh-Mu, apakah semua siswa-Mu akan mencapai cita-cita murni itu, atau sebagian tidak akan berhasil?"
"Sebagian akan mencapainya dan sebagian tidak."
"Apa alasannya, Gotama Yang Baik? Apa penyebabnya?"
"Saya akan bertanya padamu, Brahmin; jawablah bila berkenan. Bagaimana pikiranmu? Apakah engkau mengetahui jalan ke Rajagaha?"
"Ya, Gotama Yang Baik, saya mengetahuinya."
"Baik, andaikan seorang datang padamu, dan berkata bahwa dia ingin ke Rajagaha dan bertanya arahnya. Lalu, engkau berkata: 'Jalan ini menuju ke Rajagaha; berjalanlah terus sampai ke suatu desa, berjalanlah terus sampai engkau sampai di pasar, lalu bila engkau berjalan terus engkau akan sampai di Rajagaha dengan kebun-kebunnya yang indah, hutan-hutan yang indah, lapangan-lapangan yang indah dan kolam-kolam yang indah. Namun, walau telah ditunjukkan dan diarahkan olehmu jalan itu, tapi orang tadi mengambil jalan lain yang menuju ke Barat. Dan, oleh karenanya dia tidak sampai ke Rajagaha.
Lalu, andaikan seorang lagi datang padamu, dan dia juga berkeinginan ke Rajagaha, lalu karena dia mengikuti petunjukmu, maka akhirnya dia tiba dengan selamat.
Jadi oleh karena ada Rajagaha, oleh karena ada jalan menuju kesana, dan juga ada engkau sebagai penunjuk jalan, mengapa orang yang pertama tidak sampai sedangkan orang yang satunya lagi sampai ke Rajagaha?"
"Gotama Yang Baik, apa yang harus saya kerjakan dalam hal ini? Saya tiada lain hanyalah seorang penunjuk jalan."
"Demikian pula, Brahmin; ada Nibbana, ada jalan menuju ke Nibbana, dan ada Saya sebagai penunjuk jalan menuju ke Nibbana. Tapi hanya sebagian Siswa yang diajar dan diarahkan oleh-Ku yang mencapai Nibbana, sebagian lainnya tidak. Apa yang dapat Saya perbuat dalam hal ini? Sang Tathagata adalah penunjuk Jalan.
(Majjhima Nikaya II: 5)
11. Tapi satu hal yang pasti - siapapun yang mencapai Nibbana adalah sebagai hasil menjalankan ajaran Sang Buddha.
"Bila, dengan pengertian penuh Gotama Yang Baik telah mengajarkan Dhamma pada siswa-Nya untuk pemurnian makhluk hidup, untuk mengatasi penyesalan dan keputus-asaan, untuk mengakhiri kesedihan dan kemurungan, untuk mencapai tatacara-nya, untuk mencapai nibbana; lalu apakah seluruh dunia akan mencapainya, atau seperduanya, atau sepertiganya?"
Sampai disitu, Sang Buddha berdiam diri. Lalu Ananda berpikir: "Orang ini hendaknya jangan sampai berpikir bahwa Sang Buddha tidak dapat menjawab pertanyaan yang penting ini." Jadi Ananda berkata: "Saya akan memberi suatu perumpamaan." Bayangkan ada suatu kota dikelilingi oleh tembok dengan dasar pondasi yang sangat kuat, bermenara dan berpintu gerbang hanya satu, pintu gerbang dijaga ketat, hanya orang yang dikenal diperbolehkan melewatinya, dan orang asing tak diperbolehkan melewatinya. Lalu, ketika seseorang berjaga di sekeliling tembok, dia tidak menemukan satupun lobang yang dapat dilewati walau oleh seekor kucing pun. Dengan demikian dia tahu, bahwa semua makhluk, besar ataupun kecil, hanya dapat masuk ke kota atau keluar dari kota dengan melewati gerbang tersebut. Sama halnya dengan pertanyaanmu, tidaklah penting bagi Sang Buddha. Apa yang disabdakan Beliau adalah, bahwa "Siapapun yang telah terbebas, sedang terbebas ataupun akan terbebas dari dunia ini, dia akan terbebas dengan cara melepaskan ke-lima rintangan, melepaskan kesesatan-batin yang melemahkan kebijaksanaan, dia akan terbebas dengan cara mengembangkan batin dalam empat dasar kesadaran, dan dengan mengembangkan tujuh unsur pencerahan." (Anguttara Nikaya V: 194)
12. Setelah Sang Buddha mencapai Nibbana, Beliau "mengajak" semua umat manusia untuk mengikuti Jalan agar umat manusia juga dapat menikmati kedamaian, kebahagiaan dan kebebasan. "Ajakan" Beliau masih berlaku sampai saat ini.
Pintu-pintu ke ke Abadi-n telah terbuka,
Marilah, mereka yang dapat mendengar,
berusaha dengan keyakinan.
(Majjhima Nikaya I: 169)
13. Jalan Mulia Berunsur Delapan adalah satu-satunya praktek keagamaan yang menuju kebebasan Nibbana. Sang Buddha bersabda:
Dari semua jalan, Yang Berunsur Delapan yang terbaik
Dari semua kebenaran, Yang Empat yang terbaik
Dari semua keadaan, bebas dari murka yang terbaik
Dari semua manusia, yang sadar yang terbaik
Inilah Jalan satu-satunya;
Tak ada lain yang bisa menjadikan murni dan sadar.
Jalani Jalan itu,
Dan engkau akan mengatasi Mara.
Jalani Jalan ini,
Dan engkau akan mengakhiri penderitaan.
Saya memaklumatkan Jalan ini,
Ditemukan oleh Saya sendiri.
(Dhammapada: 273-275)
14. Ciri ke tiga dari Jalan Berunsur Delapan adalah bahwa Jalan itu berlaku selamanya. Selama ribuan tahun Jalan itu mungkin tertutup oleh ketidaktahuan atau ketakhyulan, tetapi karena berlaku selamanya, maka niscaya akan ada seseorang yang menemukannya kembali, berubah pandangan karenanya, dan mengajarkannya kembali demi kebaikan umat manusia. Demikian pula, berabad-abad sebelum ini, Jalan itu telah pernah diketahui tapi lalu terlupakan, lalu diketemukan kembali dan diajarkan oleh Buddha Gotama. Inilah, seperti yang dikatakan Sang Buddha "Jalan lama yang masih tetap berlaku dan akan senantiasa demikian."
Sama halnya, andaikata ada seorang mengembara didalam hutan, lalu menemukan suatu jalan tua, jalan-setapak tua, dilewati oleh orang-orang di masa-masa sebelumnya, yang bila diikuti terus, akan sampai ke suatu kota kuno, suatu benteng agung kuno yang dihuni oleh orang masa lampau, dengan taman-taman dan hutan-hutannya, dengan penampungan air dan tembok-temboknya suatu tempat yang sangat indah. Lalu, seandainya pengembara itu menyampaikan penemuannya pada raja atau menteri, dengan berkata: "Tuan, ketahuilah, saya telah menemukan suatu kota kuno. Pugarlah tempat itu." Lalu, seandainya kota kuno itu dipugar, menjadi cerah, berkembang, dihuni, terisi oleh wangsa-wangsa, dan bertumbuh serta bertambah luas. Demikian pula, saya telah melihat Jalan tua itu, Jalan yang telah dilewati para Buddha Tercerahi di masa-masa sebelumnya. Dan Jalan yang manakah itu? Itulah Jalan Berunsur Delapan. (Samyutta Nikaya II: 105)
15. Dengan melaksanakan langkah-langkah Jalan Berunsur Delapan dalam kehidupan, maka seseorang menjadi Buddhis, dan dengan menghayati kebenarannya dalam batin, yang dengan sendirinya akan timbul setelah melaksanakannya, seseorang akan dapat mencapai Pencerahan.
Pengembara Nandiya bertanya kepada Sang Buddha: "Keadaan apakah, yang bila dikembangkan dan dilaksanakan akan menuntun ke Nibbana, sasarannya adalah Nibbana, bertitik-puncak di Nibbana?"
"Nandiya, ada Delapan Hal, yang bila dikembangkan dan dilaksanakan, menuntun ke Nibbana, sasarannya adalah Nibbana, bertitik-puncak di Nibbana."
"Apa yang Delapan itu?"
"Pengertian Sejati, Pikiran Sejati, Pembicaraan Sejati, Tindakan Sejati, Penghidupan Sejati, Daya-upaya Sejati, Kesadaran Sejati dan Pemusatan-pikiran Sejati."
[Samyutta Nikaya V: 10 ]
Riwayat Hidup Sang Buddha
Gautama Buddha dilahirkan dengan nama Siddhārtha Gautama (Sanskerta: Siddhattha Gotama; Pali: "keturunan Gotama yang tujuannya tercapai"), dia kemudian menjadi sang Buddha (secara harfiah: orang yang telah mencapai Penerangan Sempurna). Dia juga dikenal sebagai Shakyamuni ('orang bijak dari kaum Sakya') dan sebagai sang Tathagata. Siddhartha Gautama adalah guru spiritual dari wilayah timur laut India yang juga merupakan pendiri Agama Buddha[1] Ia secara mendasar dianggap oleh pemeluk Agama Buddha sebagai Buddha Agung (Sammāsambuddha) di masa sekarang. Waktu kelahiran dan kematiannya tidaklah pasti: sebagian besar sejarawan dari awal abad ke 20 memperkirakan kehidupannya antara tahun 563 SM sampai 483 SM; baru-baru ini, pada suatu simposium para ahli akan masalah ini,[2] sebagian besar dari ilmuwan yang menjelaskan pendapat memperkirakan tanggal berkisar antara 20 tahun antara tahun 400 SM untuk waktu meninggal dunianya, sedangkan yang lain menyokong perkiraan tanggal yang lebih awal atau waktu setelahnya.
Siddhartha Gautama merupakan figur utama dalam agama Buddha, keterangan akan kehidupannya, khotbah-khotbah, dan peraturan keagamaan yang dipercayai oleh penganut agama Buddha dirangkum setelah kematiannya dan dihafalkan oleh para pengikutnya. Berbagai kumpulan perlengkapan pengajaran akan Siddhartha Gautama diberikan secara lisan, dan bentuk tulisan pertama kali dilakukan sekitar 400 tahun kemudian. Pelajar-pelajar dari negara Barat lebih condong untuk menerima biografi Sang Buddha yang dijelaskan dalam naskah Agama Buddha sebagai catatan sejarah, tetapi belakangan ini "keseganan pelajar negara Barat meningkat dalam memberikan pernyataan yang tidak sesuai mengenai fakta historis akan kehidupan dan pengajaran Sang Buddha.
Orang tua
Ayah dari Pangeran Siddhartha Gautama adalah Sri Baginda Raja Suddhodana dari Suku Sakya dan ibunya adalah Ratu Mahā Māyā Dewi. Ibunda Pangeran Siddharta Gautama meninggal dunia tujuh hari setelah melahirkan Sang Pangeran. Setelah meninggal, beliau terlahir di alam/surga Tusita, yaitu alam surga luhur. Sejak meninggalnya Ratu Mahā Māyā Dewi, Pangeran Siddharta dirawat oleh Ratu Mahā Pajāpati, bibinya yang juga menjadi isteri Raja Suddhodana.
[sunting] Riwayat hidup
Relief kelahiran Pangeran Siddhartha. Dari kuil Zen You Mitsu, Tokyo.
[sunting] Kelahiran
Pangeran Siddharta dilahirkan pada tahun 623 SM di Taman Lumbini, saat Ratu Maha Maya berdiri memegang dahan pohon sal. Pada saat ia lahir, dua arus kecil jatuh dari langit, yang satu dingin sedangkan yang lainnya hangat. Arus tersebut membasuh tubuh Siddhartha. Siddhartha lahir dalam keadaan bersih tanpa noda, berdiri tegak dan langsung dapat melangkah ke arah utara, dan tempat yang dipijakinya ditumbuhi bunga teratai.
Oleh para pertapa di bawah pimpinan Asita Kaladewala, diramalkan bahwa Sang Pangeran kelak akan menjadi seorang Chakrawartin (Maharaja Dunia) atau akan menjadi seorang Buddha. Hanya pertapa Kondañña yang dengan tegas meramalkan bahwa Sang Pangeran kelak akan menjadi Buddha. Mendengar ramalan tersebut Sri Baginda menjadi cemas, karena apabila Sang Pangeran menjadi Buddha, tidak ada yang akan mewarisi tahta kerajaannya. Oleh pertanyaan Sang Raja, para pertapa itu menjelaskan agar Sang Pangeran jangan sampai melihat empat macam peristiwa. Bila tidak, ia akan menjadi pertapa dan menjadi Buddha. Empat macam peristiwa itu adalah:
1. Orang tua,
2. Orang sakit,
3. Orang mati,
4. Seorang pertapa.
[sunting] Masa kecil
Sejak kecil sudah terlihat bahwa Sang Pangeran adalah seorang anak yang cerdas dan sangat pandai, selalu dilayani oleh pelayan-pelayan dan dayang-dayang yang masih muda dan cantik rupawan di istana yang megah dan indah. Pada saat berusia 7 tahun, Pangeran Siddharta mempunyai 3 kolam bunga teratai, yaitu:
* Kolam Bunga Teratai Berwarna Biru (Uppala)
* Kolam Bunga Teratai Berwarna Merah (Paduma)
* Kolam Bunga Teratai Berwarna Putih (Pundarika)
Dalam Usia 7 tahun Pangeran Siddharta telah mempelajari berbagai ilmu pengetahuan. Pangeran Siddharta menguasai semua pelajaran dengan baik. Dalam usia 16 tahun Pangeran Siddharta menikah dengan Puteri Yasodhara yang dipersuntingnya setelah memenangkan berbagai sayembara. Dan saat berumur 16 tahun, Pangeran memiliki tiga Istana, yaitu:
* Istana Musim Dingin (Ramma)
* Istana Musim Panas (Suramma)
* Istana Musim Hujan (Subha)
[sunting] Masa dewasa
Pangeran Siddhartha melihat empat hal yang mengubah hidupnya.
Kata-kata pertapa Asita membuat Raja Suddhodana tidak tenang siang dan malam, karena khawatir kalau putra tunggalnya akan meninggalkan istana dan menjadi pertapa, mengembara tanpa tempat tinggal. Untuk itu Baginda memilih banyak pelayan untuk merawat Pangeran Siddharta, agar putra tunggalnya menikmati hidup keduniawian. Segala bentuk penderitaan berusaha disingkirkan dari kehidupan Pangeran Siddharta, seperti sakit, umur tua, dan kematian, sehingga Pangeran hanya mengetahui kenikmatan duniawi.
Suatu hari Pangeran Siddharta meminta ijin untuk berjalan di luar istana, dimana pada kesempatan yang berbeda dilihatnya "Empat Kondisi" yang sangat berarti, yaitu orang tua, orang sakit, orang mati dan orang suci. Pangeran Siddhartha bersedih dan menanyakan kepada dirinya sendiri, "Apa arti kehidupan ini, kalau semuanya akan menderita sakit, umur tua dan kematian. Lebih-lebih mereka yang minta pertolongan kepada orang yang tidak mengerti, yang sama-sama tidak tahu dan terikat dengan segala sesuatu yang sifatnya sementara ini!". Pangeran Siddharta berpikir bahwa hanya kehidupan suci yang akan memberikan semua jawaban tersebut.
Selama 10 tahun lamanya Pangeran Siddharta hidup dalam kesenangan duniawi. Pergolakan batin Pangeran Siddharta berjalan terus sampai berusia 29 tahun, tepat pada saat putra tunggalnya Rahula lahir. Pada suatu malam, Pangeran Siddharta memutuskan untuk meninggalkan istananya dan dengan ditemani oleh kusirnya, Canna. Tekadnya telah bulat untuk melakukan Pelepasan Agung dengan menjalani hidup sebagai pertapa.
Setelah itu Pangeran Siddhartha meninggalkan istana, keluarga, kemewahan, untuk pergi berguru mencari ilmu sejati yang dapat membebaskan manusia dari usia tua, sakit dan mati. Pertapa Siddharta berguru kepada Alāra Kālāma dan kemudian kepada Uddaka Ramāputra, tetapi tidak merasa puas karena tidak memperoleh yang diharapkannya. Kemudian beliau bertapa menyiksa diri dengan ditemani lima orang pertapa. Akhirnya beliau juga meninggalkan cara yang ekstrim itu dan bermeditasi di bawah pohon Bodhi untuk mendapatkan Penerangan Agung.
[sunting] Masa pengembaraan
Pangeram Siddharta mencukur rambutnya dan menjadi pertapa, relief Borobudur.
Patung Buddha dari Gandhara, abad ke-1 atau abad ke-2.
Didalam pengembaraannya, pertapa Gautama mempelajari latihan pertapaan dari pertapa Bhagava dan kemudian memperdalam cara bertapa dari dua pertapa lainnya, yaitu pertapa Alara Kalama dan pertapa Udraka Ramputra. Namun setelah mempelajari cara bertapa dari kedua gurunya tersebut, tetap belum ditemukan jawaban yang diinginkannya. Sehingga sadarlah pertapa Gautama bahwa dengan cara bertapa seperti itu tidak akan mencapai Pencerahan Sempurna. Kemudian pertapa Gautama meninggalkan kedua gurunya dan pergi ke Magadha untuk melaksanakan bertapa menyiksa diri di hutan Uruwela, di tepi Sungai Nairanjana yang mengalir dekat Hutan Gaya. Walaupun telah melakukan bertapa menyiksa diri selama enam tahun di Hutan Uruwela, tetap pertapa Gautama belum juga dapat memahami hakekat dan tujuan dari hasil pertapaan yang dilakukan tersebut.
Pada suatu hari pertapa Gautama dalam pertapaannya mendengar seorang tua sedang menasehati anaknya di atas perahu yang melintasi sungai Nairanjana dengan mengatakan:
“ Bila senar kecapi ini dikencangkan, suaranya akan semakin tinggi. Kalau terlalu dikencangkan, putuslah senar kecapi ini, dan lenyaplah suara kecapi itu. Bila senar kecapi ini dikendorkan, suaranya akan semakin merendah. Kalau terlalu dikendorkan, maka lenyaplah suara kecapi itu. ”
Nasehat tersebut sangat berarti bagi pertapa Gautama yang akhirnya memutuskan untuk menghentikan tapanya lalu pergi ke sungai untuk mandi. Badannya yang telah tinggal tulang hampir tidak sanggup untuk menopang tubuh pertapa Gautama. Seorang wanita bernama Sujata memberi pertapa Gautama semangkuk susu. Badannya dirasakannya sangat lemah dan maut hampir saja merenggut jiwanya, namun dengan kemauan yang keras membaja, pertapa Gautama melanjutkan samadhinya di bawah pohon bodhi (Asetta) di Hutan Gaya, sambil ber-prasetya, "Meskipun darahku mengering, dagingku membusuk, tulang belulang jatuh berserakan, tetapi aku tidak akan meninggalkan tempat ini sampai aku mencapai Pencerahan Sempurna."
Perasaan bimbang dan ragu melanda diri pertapa Gautama, hampir saja Beliau putus asa menghadapi godaan Mara, setan penggoda yang dahsyat. Dengan kemauan yang keras membaja dan dengan iman yang teguh kukuh, akhirnya godaan Mara dapat dilawan dan ditaklukkannya. Hal ini terjadi ketika bintang pagi memperlihatkan dirinya di ufuk timur.
Pertapa Gautama telah mencapai Pencerahan Sempurna dan menjadi Samyaksam-Buddha (Sammasam-Buddha), tepat pada saat bulan Purnama Raya di bulan Waisak ketika ia berusia 35 tahun (menurut versi Buddhisme Mahayana, 531 SM pada hari ke-8 bulan ke-12, menurut kalender lunar. Versi WFB, pada bulan Mei tahun 588 SM). Pada saat mencapai Pencerahan Sempurna, dari tubuh Sang Siddharta memancar enam sinar Buddha (Buddharasmi) dengan warna biru yang berarti bhakti; kuning mengandung arti kebijaksanaan dan pengetahuan; merah yang berarti kasih sayang dan belas kasih; putih mengandung arti suci; jingga berarti giat; dan campuran kelima sinar tersebut.
[sunting] Penyebaran ajaran Buddha
Sang Buddha memberi pelajaran tentang dharma kepada lima pertapa di Taman Rusa
Setelah mencapai Pencerahan Sempurna, pertapa Gautama mendapat gelar kesempurnaan yang antara lain: Buddha Gautama, Buddha Shakyamuni, Tathagata ('Ia Yang Telah Datang', Ia Yang Telah Pergi'), Sugata ('Yang Maha Tahu'), Bhagava ('Yang Agung') dan sebagainya. Lima pertapa yang mendampingi Beliau di hutan Uruwela merupakan murid pertama Sang Buddha yang mendengarkan khotbah pertama Dhammacakka Pavattana, dimana Beliau menjelaskan mengenai Jalan Tengah yang ditemukan-Nya, yaitu Delapan Ruas Jalan Kemuliaan termasuk awal khotbahNya yang menjelaskan "Empat Kebenaran Mulia".
Buddha Gautama berkelana menyebarkan Dharma selama empat puluh lima tahun lamanya kepada umat manusia dengan penuh cinta kasih dan kasih sayang, hingga akhirnya mencapai usia 80 tahun, saat ia menyadari bahwa tiga bulan lagi ia akan mencapai Parinibbana.
Sang Buddha dalam keadaan sakit terbaring di antara dua pohon sala di Kusinagara, memberikan khotbah Dharma terakhir kepada siswa-siswa-Nya, lalu Parinibbana (versi Buddhisme Mahayana, 486 SM pada hari ke-15 bulan ke-2 kalender Lunar. Versi WFB pada bulan Mei, 543 SM).
[sunting] Sifat Agung Sang Buddha
Sang Buddha menjelang Parinirwana.
Seorang Buddha memiliki sifat Cinta Kasih (maitri atau metta) dan Kasih Sayang (karuna). Cinta Kasih dan Kasih Sayang seorang Buddha tidak terbatas oleh waktu dan selalu abadi, karena telah ada dan memancar sejak manusia pertama kalinya terlahir dalam lingkaran hidup roda samsara yang disebabkan oleh ketidaktahuan atau kebodohan batinnya. Jalan untuk mencapai Kebuddhaan ialah dengan melenyapkan ketidaktahuan atau kebodohan batin yang dimiliki oleh manusia. Pada waktu Pangeran Siddharta meninggalkan kehidupan duniawi, ia telah mengikrarkan Empat Prasetya yang berdasarkan Cinta Kasih dan Kasih Sayang yang tidak terbatas, yaitu
1. Berusaha menolong semua makhluk.
2. Menolak semua keinginan nafsu keduniawian.
3. Mempelajari, menghayati dan mengamalkan Dharma.
4. Berusaha mencapai Pencerahan Sempurna.
Buddha Gautama pertama melatih diri untuk melaksanakan amal kebajikan kepada semua makhluk dengan menghindarkan diri dari sepuluh tindakan yang diakibatkan oleh tubuh, ucapan dan pikiran, yaitu
* Tubuh (kaya): pembunuhan, pencurian, perbuatan jinah.
* Ucapan (vak): penipuan, pembicaraan fitnah, pengucapan kasar, percakapan tiada manfaat.
* Pikiran (citta): kemelekatan, niat buruk dan kepercayaan yang salah.
Cinta kasih dan kasih sayang seorang Buddha adalah cinta kasih untuk kebahagiaan semua makhluk seperti orang tua mencintai anak-anaknya, dan mengharapkan berkah tertinggi terlimpah kepada mereka. Akan tetapi terhadap mereka yang menderita sangat berat atau dalam keadaan batin gelap, Sang Buddha akan memberikan perhatian khusus. Dengan Kasih Sayang-Nya, Sang Buddha menganjurkan supaya mereka berjalan di atas jalan yang benar dan mereka akan dibimbing dalam melawan kejahatan, hingga tercapai "Pencerahan Sempurna".
Sebagai Buddha yang abadi, Beliau telah mengenal semua orang dan dengan menggunakan berbagai cara Beliau telah berusaha untuk meringankan penderitaan semua makhluk. Buddha Gautama mengetahui sepenuhnya hakekat dunia, namun Beliau tidak pernah mau mengatakan bahwa dunia ini asli atau palsu, baik atau buruk. Ia hanya menunjukkan tentang keadaan dunia sebagaimana adanya. Buddha Gautama mengajarkan agar setiap orang memelihara akar kebijaksanaan sesuai dengan watak, perbuatan dan kepercayaan masing-masing. Ia tidak saja mengajarkan melalui ucapan, akan tetapi juga melalui perbuatan. Meskipun bentuk fisik tubuh-Nya tidak ada akhirnya, namun dalam mengajar umat manusia yang mendambakan hidup abadi, Beliau menggunakan jalan pembebasan dari kelahiran dan kematian untuk membangunkan perhatian mereka.
Pengabdian Buddha Gautama telah membuat diri-Nya mampu mengatasi berbagai masalah didalam berbagai kesempatan yang pada hakekatnya adalah Dharma-kaya, yang merupakan keadaan sebenarnya dari hakekat yang hakiki dari seorang Buddha. Sang Buddha adalah pelambang dari kesucian, yang tersuci dari semua yang suci. Karena itu, Sang Buddha adalah Raja Dharma yang agung. Ia dapat berkhotbah kepada semua orang, kapanpun dikehendaki-Nya. Sang Buddha mengkhotbahkan Dharma, akan tetapi sering terdapat telinga orang yang bodoh karena keserakahannya dan kebenciannya, tidak mau memperhatikan dan mendengarkan khotbah-Nya. Bagi mereka yang mendengarkan khotbah-Nya, yang dapat mengerti dan menghayati serta mengamalkan Sifat Agung Sang Buddha akan terbebas dari penderitaan hidup. Mereka tidak akan dapat tertolong hanya karena mengandalkan kepintarannya sendiri.
[sunting] Wujud dan kehadiran Buddha
Sang Buddha tidak hanya dapat mengetahui dengan hanya melihat wujud dan sifat-Nya semata-mata, karena wujud dan sifat luar tersebut bukanlah Buddha yang sejati. Jalan yang benar untuk mengetahui Buddha adalah dengan jalan membebaskan diri dari hal-hal duniawi/menjalani hidup dengan cara bertapa. Buddha sejati tidak dapat dilihat oleh mata manusia biasa, sehingga Sifat Agung seorang Buddha tidak dapat dilukiskan dengan kata-kata. Namun Buddha dapat mewujudkan diri-Nya dalam segala bentuk dengan sifat yang serba luhur. Apabila seseorang dapat melihat jelas wujud-Nya atau mengerti Sifat Agung Buddha, namun tidak tertarik kepada wujud-Nya atau sifat-Nya, dialah yang sesungguhnya yang telah mempunyai kebijaksanaan untuk melihat dan mengetahui Buddha dengan benar.
Langganan:
Postingan (Atom)